Jumat, 28 September 2018

Pengalaman Skripsi


Holla! Long time no see! Sudah lama tidak cerita-cerita di blog ini karna kesibukan dll, so karena sekarang sudah sangat luang (bahkan sampai bingung mau ngapain hari ini, besok, dan besok besoknya lagi), jadi inilah saatnya aku kembali ke dunia media kreatifku💫
Kali ini aku akan cerita tentang pengalamanku menggarap skripsi. Yes, sebagai mahasiswa, hal terberat yang harus dihadapi adalah menggarap skripsi, mau tidak mau, suka tidak suka, karena skripsi adalah syarat kelulusan di jenjang sarjana. Sebagai mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip, aku mengambil tema skripsi tentang waterborne disease, yang lebih tepatnya adalah diare. Aku mengambil area penelitian di salah satu wilayah yanga ada di Kabupaten Kulon Progo. Nah loh, rumah di Bekasi, kuliah di Semarang, penelitian di Kulon Progo. Hidupku is so full of journey.
Awal mula aku mengambil wilayah penelitian disana adalah karena dosen pembimbingku menghendaki aku mengambil cakupan wilayah yang lebih luas dari wilayah yang aku ajukan sebelumnya. Akhirnya akupun meminta saran ibuku untuk mencari tempat, dan voila! Jadilah kulon progo sebagai wilayah penelitianku. Dan masalah wilayah adalah awal dari cobaanku dalam mengerjakan skripsi.
Aku memang agak telat memulai skripsiku dibanding beberapa teman lainnya, karena aku keasyikan KKN jadi ga mikirin mau dibawa kemana skripsiku. Baru deh setelah itu aku kalang kabut mikirin tema dan lokasi penelitian.
Sebelum penelitian aku harus melakukan studi pendahuluan (sesuai yang disarankan dosbimku) dan you know what, I’ve spend too much dollar just to do this ship. Hello… I’m not a crazy rich student, mengandalkan uang dari ortu? Ga akan cukup. Fortunately aku bukan orang yang suka foya-foya sehingga I have enough money to cover all my essay stuff. Jadi pesan pertama dalam tulisan ini adalah: save your money, skripsi akan memerasmu.
Akhirnya aku memulai skripsiku dengan melakukan studi pendahuluan ke Kulon Progo. Sejujurnya aku ga jarang bepergian sendiri ke tempat baru, tapi untuk jarak yang cukup jauh dan lokasi yang benar-benar belum pernah aku bayangkan sebelumnya, perjalanan ini cukup membuatku takut dan sedih. Ya, aku takut karena aku ga tau apa yang akan aku hadapi disepanjang perjalanan nanti, dan aku sedih karena aku harus pergi sendiri, tanpa ada teman yang bisa aku jadikan tempat meredakan rasa takutku. Tapi walau begitu, semua aku hadapi dengan modal nekad, apapun yang akan aku hadapi nanti, akan aku hadapi dengan segala kekuatanku.
Akhirnya aku sampai di kulon progo, numpang di rumah saudaraku. Alhamdulillah disana aku tidak mengalami banyak masalah seperti penolakan oleh orang-orang sekitar, justru aku disambut dengan antusias oleh mereka. Bahkan instansi-instansi terkait pun tidak semenyusahkan instansi yang ada di kota, mereka sangat welcome dan ramah. Aku bersyukur karena aku mengikuti apa yang dikatakan oleh ibuku.
Tidak sampai disitu, karena biaya otakku kembali berputar. Banyak hal yang harus direlakan karena ini. Hasil lab yang tidak memuaskan, uang yang terbuang sia-sia, dan keinginan dosen yang perlu dipenuhi membuatku sedikit stres dan tertekan.
Pernah disuatu saat, aku tidak biisa tidur. Saat aku mencoba membuat diriku lelah agar bisa segera tertidur, saat aku mencoba memejamkan mataku, bukan kantuk yang aku rasakan, melainkan kecemasan luar biasa. Beraktifitas seharian membuatku lelah, tapi tidak seberapa lelahnya dengan apa yang ada dipikiranku saat itu. Biasanya jam 10 aku sudah ngantuk banget dan bangun jam 5 pagi, tapi saat itu, bahkan jam 1 pun aku belum bisa tidur dan jam 5 aku sudah terbangun. Hal itu terjadi tidak hanya sehari dua hari.
Selain gangguan tidur, aku juga tidak bisa merasakan lapar. Aku hanya makan ketika aku rasa aku harus makan. Perutku sakit, tapi bukan karena lapar, karena makan sedikitpun membuatku kenyang. Saat aku berjalan, mengendarai motor, menunggu, perutku tidak bisa berhenti merasakan sakit. Rasanya persis ketika kita akan naik ke panggung untuk suatu kompetisi. Pasti ga enak, padahal hanya beberapa saat sebelum naik ke panggung, apalagi ini yang mana kejadiannya tidak hanya sehari dua hari. Tubuh ini lemas, dan aku menyadari itu, tapi tidak lebih lemas dari otakku yang tidak bisa berhenti berpikir.
Apakah kalian pernah membenci weekend atau tanggal merah? Aku pernah, dan itu rasanya sangat menyakitkan. Ketika orang-orang harusnya menikmati hari libur mereka untuk merefresh dan mengistirahatkan tubuh mereka, tubuhku tidak mau. Tubuhku tidak mau berhenti bekerja bahkan saat aku mengharapkannya. Setiap hari rasanya adalah seperti di penjara, ingin keluar tapi tidak bisa, dan harus terus melakukan hal-hal yang tidak aku suka.
Saat-saat seperti itu adalah saat yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Mungkin kalian pikir aku cupu karena baru merasakan penderitaan seperti itu, atau aku hanya menghadapi beban seperti itu tapi kok lebaynya minta ampun. Sekarang aku kasih tau ya, aku juga pernah berpikir seperti itu terhadap orang lain. Aku pernah berpikir kenapa dia belum selesai skripsi? Atau gitu aja kok ngeluh sih? Emang sesusah apa sih? Dan kini aku merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang pernah aku nyinyirin sebelumnya.
Kita gapernah tau apa yang dirasakan oleh orang lain sebelum kita mengalaminya sendiri. Segala apa yang terlihat itu hanya sebagian kecil dari apa yang terjadi sebenarnya. Apalagi kalau kita bertemu orang lain hanya sekali seminggu dan hanya bertemu 1 jam, bandingkan berapa banyak hal yang kita lihat dibandingkan dengan apa yang tidak kita lihat, perbandingannya hampir 1:168 hal. Kita hanya melihat hidup dia hanya dalam 1 jam, tapi kita gatau apa yang ia alami selama 167 jam lainnya. Itulah kenapa sangat mudah untuk kita menilai apa yang dialami oleh orang lain, karena kita hanya melihat apa yang terjadi pada orang lain dalam waktu yang begitu singkat. Jadi pesan kedua dalam tulisan ini adalah: biarkan orang lain mengeluh, karena kamu tidak tahu bagaimana dirimu saat berada di posisinya.
Jangan tanya soal menangis. Untuk seorang aku yang memiliki frekuensi menangis dengan intensitas tertentu yang sangat jarang, dalam 7 bulan perjuanganku menangis bukan lagi hal yang langka. Aku tidak menangis ketika aku terjatuh, tapi aku menangis kapanpun aku bisa menangis. Ya, saat terjatuh aku masih bisa pura-pura tegar dan kembali bangkit, tapi di lain waktu yang sangat random, tiba-tiba dadaku sesak dan air mata tumpah begitu saja. Mungkin aku bisa mencium aroma asin di mukenaku. Bahkan seorang temanku mengatakan, mataku tidak seperti biasanya, tidak ada tatapan yang cerah dan tajam, melainkan fearness and misery. Aku bisa menyembunyikan air mataku, tapi aku tidak bisa menyembunyikan sorot mataku.
Melihat teman-teman yang satu per satu mulai maju seminar membuatku insecure, rasa takut kembali menghantui. Ketakutan tidak kunjung maju seminar, ketakutan akan ditinggal rombongan, ketakuran tidak bisa memenuhi timeline, semua itu menghantui hari-hariku. Bahkan rasa takut terhadap hal lain tidak lagi kurasakan, hanya ketakutan tentang hal inilah yang aku rasakan. Akhirnya aku memutuskan untuk vakum dari instagram. Ya, aku menghapus app instagramku karna hal itu. Aku benar-benar merasa underpressure setiap kali melihat orang lain maju seminar. Dan ternyata hidupku jauh lebih tenang setelah aku melakukan hal itu.
Cobaan demi cobaan datang silih berganti, seakan-akan alam mengatakan: kamu tidak boleh menghadapi ini dengan mudah, kamu harus kesulitan. Kata orang-orang tema skripsiku tidak sulit, aku sendiri pun mengakui itu. Tapi seperti yang aku katakan tadi, alam tidak menyertaiku menjalani segala hal dengan mudah, sehingga ada saja masalah yang datang, yaitu hasil penelitianku tidak bisa diolah. Ketakutan lagi-lagi merambat disekujur tubuhku. Selama liburan idul fitri, rasanya ingin tertawa lepaspun berat. Kalian yang sudah mengalami hal ini mungkin tahu bahwa orang-orang sekitar mulai menanyakan pertaman ”kapan series”. Kapan lulus? Dan aku hanya bisa menjawab dengan jawaban insyaAllah Agustus, kalo engga Agustus ya Oktober, kalo engga ya Januari. Sepasrah itu aku menjawab pertanyaan mereka, walau sebenarnya ada rasa sakit di hatiku, bagaimana aku bisa menentukan kapan aku lulus? Toh hasil penelitianku saja tidak mau mempecepat prosesku.
Alhamdulillah, walau sempat ada keraguan dan ketakutan, setelah bertemu dengan dosbim, penelitianku bisa dilanjutkan tanpa harus mengulang penelitian. Kalau kalian mau tau, awalnya aku sangat takut dengan dosbimku, karena yang aku tahu beliau orangnya perfeksionis. Bahkan karena perangainya yang seperti itu, keinginanku untuk melanjutkan studi (insyaAllah kalau ada kesempatan) jadi terhenti. Aku benar-benar tidak ada niat melanjutkan studi sama sekali saat itu. Tapi setelah beberapa bulan berlalu, dan karena hasil penlitianku yang begitu memprihatinkan, akhirnya aku bisa melihat sisi malaikat dari dosbimku, dan semenjak itu juga pandanganku tentang beliau yang sangat ketat dan menyeramkan jadi hilang. Selain itu keinginanku untuk melanjutkan studi juga mulai tumbuh kembali. Karena hal ini, aku tidak lagi offensive dengan dosbimku (karena sejujurnya sebelum itu aku tekanan batin banget tiap mau ketemu beliau) dan sekarang malah bisa lebih santai kalau bertemu beliau, dan sekarang aku tahu beliau mengenalku, yeay!
Masalah penelitian sudah kelar, kini berganti masalah baru, perjuangan mengejar UKT semester 9. Ya, aku sudah masuk kategori mahasiswa semester 9. Segala upaya sudah kuusahakan, mempercepat proses pembuatan skripsi, menunggu dosen dari pagi sampai sore (karena kampus tidak beroperasi di malam hari), dan bolak balik revisian sudah dilakukan. Akan tetapi karena jadwal dosen yang padat merayap walau saat itu masih hari libur kuliah, akhirnya aku tidak bisa memperjuangankan uang UKTku, tanggal deadline sudah terlewat, dan aku harus pasrah karena kembali melakukan hal yang sia-sia. Beban ini bukan karena aku yang merasakan, tapi karena ortuku yang harus berusaha membayar UKT  lagi, karena seharusnya mereka hanya membiayaiku sampai smt 8. Rasanya kecewa pada diri sendiri karena tidak mendapatkan apa yang selama ini diperjuangkan, ditambah lagi harus bayar kos yang engga murah. And now I am being a Very Crazy Poor Student.
Akhirnya tanggal 30 Agustus 2018 aku bisa ujian skripsi, yeay! Tapi cobaan belum berhenti sampai disitu, pengujiku yang terkenal killer membuatku harus merombak skripsi dengan intensitas yang tidak kecil. Karena revisi itulah aku tidak berhasil memperjuangkan uang kosku. Ya, aku banyak berjuang dengan uang. Untuk skripsi ini aku sudah spend too much money, sampai tabunganku sudah tidak bisa diharapkan dan membuatku berpikir bagaimana aku bisa ngeprint draft hasil revisi? Alhamdulillah karena aku part-timer, jadi aku masih ada pemasukan dari hasil kerjaku. Semakin lama aku semakin tabah dalam menghadapi masalah. Semakin mudah untuk aku mengontrol diriku dari ketakutan dan kecemasan. Walau banyak hal yang tidak bisa aku gapai, tapi aku tidak kecewa, karena aku tahu, kecewa itu pasti ada. Kini kekecewaan yang kamu hadapi, tapi suatu saat nanti pasti kebanggaan yang kamu peroleh, karena kamu berjuang, tidak diam dam meratapi nasib.
Secara kasar proses penggarapan skripsiku berlangsung kurang lebih 7 bulan, dengan masa penelitian hingga seminar hasil 6 bulan dan libur lebaran 2 bulan. Memang waktu yang panjang, dan mungkin sebagian dari kalian berpikir progresku lambat, tapi aku tidak menyesali sama sekali, karena aku tahu apa yang aku lakukan selama 7 bulan itu, dan apa yang aku dapatkan selama 7 bulan itu. Kalau dilihat secara untung-rugi, mungkin aku lebih banyak mengalami kerugian. Tapi bila dilihat dari pelajaran hidup, I’ve got so much things in my life, for my life. Aku belajar bagaimana cara mengurangi ego, bagaimana cara berempati dan bersimpati, bagaimana cara memandang sesuatu dari berbagai aspek, dan bagaimana cara memecahkan masalah dengan praktis. Proses penggarapan skripsi benar-benar mengajarkan aku bagaimana cara menjadi dewasa, bagaimana cara bersyukur, dan tentu saja banyak hal yang harus disyukuri. Istilah pelaut tidak dilahirkan dari laut yang tenang itu memang nyata, untuk menjadi dewasa tidak bisa hanya berjalan di red carpet, tapi harus berjalan di semak belukar yang kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi nanti. Segala persiapan harus dilakukan agar apa yang akan dihadapi nanti bisa dilalui dengan baik. Jadi pesan ketiga dalam tulisan ini adalah: jatuh itu harus, luka itu harus, dan sakit itu harus, karena kita tidak akan merasakan kuat tanpa kesakitan.
Alhamdulillah, setelah mengalami proses yang panjang, akhirnya aku dinyatakan lulus pada tanggal 18 September 2018. Aku menghabiskan total 4 tahun 17 hari untuk meraih jenjang sarjanaku. Aku tidak akan bisa meraih kelulusan ini tanpa bantuan orang-orang disekitarku, dan tentu saja atas bantuan Allah swt. Aku sangat berterimakasih karena dukungan ibuku yang tidak bisa diukur besarnya, beliau adalah alasan aku tetap bertahan walau sulit dan berlari walau letih. Selain itu dukungan dari mba nunik dan keluarga juga tidak bisa dinyatakan dengan kata-kata, we don’t know each other before, but they humbly accept and help me for this. They actually the best person in earth, I won’t forget you in my life, I promise. Selain itu aku bersyukur karena dihadirkan dosbim yang sangat sabar membimbingku. Selain itu dukungan dari adik-adikku juga selalu menjadi penguatku. Terimakasih untuk semua elemen yang sudah mendukungku mengerjalan skripsi ini, aku tidak bisa menyebutkan kalian satu per satu di tulisan ini, tapi aku akan selalu mengingat kalian di otakku. Terimakasih banyak.
Terkadang apa yang direncanakan tidak berjalan dengan semestinya, dan apa yang diharapkan tidak terjadi sedemikian pula. Tapi tidak seharusnya kita terpuruk dan larut dalam penyesalan. Menyesal itu pasti, dan tidak dilarang, tapi tak selamanya. Mengeluhlah ketika sulit, menangislah ketika berat, marahlah ketika terkekang, tapi jangan jadikan itu menjadi hal terakhir yang bisa dilakukan. Berpikir kembali, datangkan positive vibe, dan tata rencana baru untuk harapan yang baru. Hidup terus berjalan, roda terus berputar. Kamu tidak bisa mengubah jalur roda, tapi kamu bisa menentukan kapan roda itu berhenti. Setiap orang punya masalahnya masing-masing, dan punya daya tahan masing-masing. Tapi satu hal yang pasti, semua orang pasti pernah dan akan menderita. Maka berjuanglah, karena itu hidup kamu.
That’s all about my story, my struggle and my sacrifice. Semoga apa yang bermanfaat bisa diambil, dan apa yang mudarat bisa dijadikan refleksi untuk menjadi lebih baik. Selamat berjuang untuk yang akan menghadapi skripsi, dan I know what you feel untuk yang sudah melewati masa-masa itu😀 See u in the next story! Should I write a story about my life lesson since I life in Semarang? I will thinking about it😉 Buhbye! (There's some photos as my evidence of struggle below!👇)
17 April 2018, Seminar Proposal!

Thanks to all elements! I appreciate you!
 
30 Agustus 2018, Ujian Skripsi with Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji
 
Thanks to all elements! I really love u